Langsung ke konten utama

1. Penanaman dan Penjagaan Iman Menghajatkan Kerja yang serius



Dalam kehidupan keseharian kita saat ini, terlalu banyak faktor yang bisa menggerogoti keimanan. Berbagai tawaran kegiatan yang berorientasi kepada pemenuhan nafsu syahwat telah dengan terang-terangan dipromosikan lewat media massa, baik secara cetak maupun elektronik. Orientasi hidup serba materi yang ditonjolkan lewat media iklan, pada akhirnya telah menggiring manusia kepada sifat keinginan pemenuhan kebutuhan secara instan, tanpa mempertimbangkan moralitas.

Derasnya arus informasi yang mengalir bak air bah, setiap hari, setiap jam, setiap menit detik, mampu menyeret masyarakat mengikuti pola hidup tertentu pola hidup tertentu yang jauh dari nilai keimanan. Hedonisme dan konsumerisme sebagai anak kandung peradaban materi telah menjadi bagian dari gaya kehidupan, yang pada gilirannya melahirkan sejumlah patologi sosial. Keimanan akhirnya dipertaruhkan di ujung tanduk, setiap saat menemukan tawaran-tawaran sikap dan perilaku.

Penanaman nilai-nilai keimanan yang dilakukan dengan cara-cara yang konvensional selama ini bisa terkalahkan pengaruhnya oleh derasnya arus informasi yang secara konsisten menyapa mereka. Kaum muslimin diperintahkan pergi ke mesjid setiap hari Jumat untuk mendengarkan khutbah dari para khatib yang senantiasa mengajak pada keimanan dan ketakwaan. Majelis taklim dan tabligh akbar riuh ramai dihadiri akhwat muslimah. Seminar dan diskusi keislaman pun tak kalah ramai. Aktifitas ini akan berpengaruh pada iman kita tapi tidak akan membawa dampak jika tak dibarengi dengan penanaman nilai yang konsisten dan berkesinambungan.

Tak jarang kita jumpai pengajian yang lebih sarat unsur seremonial dan formalitas, bahkan kadang lebih banyak nuansa hiburan dibandingkan dengan esensi pembinaan yang bertahap dan berkelanjutan. Berbagai kegiatan yang ditawarkan masih diwarnai sejumlah kelemahan dalam unsur taujih (pengarahan) dari silabus yang terprogram, terstruktur, dan berkelanjutan. 

Namun,  bukan berarti tidak bermanfaat, sebab ini adalah sentuhan awal agar bisa berinteraksi dengan Islam. Yang jadi permasalahan adalah tindak lanjut dari kegiatan dakwah seremonial tersebut. Kegiatan tabligh seperti ini tetap bisa dilangsungkan, akan tetapi segera ditindaklanjuti dengan penawaran kegiatan tarbiyah agar terprogram dan berkelanjutan. Tarbiyah menawarkan silabus yang membuat peserta didik dalam suasana kesungguhan, kedisiplinan dalam penjagaan diri.

Dalam proses tarbiyah inilah, sentuhan pembinaan akan bersifat sangat personal, seperti adanya perhatian, pengarahan, optimalisasi potensi diri, evaluasi atas proses dan hasil Pembinaan ini mengantarkan kita pada suasana keterjagaan, saling memberikan pengaruh positif,dan menguatkan dalam kebaikan.

Sumber: Keakhwatan 1, Cahyadi Takariawan, dkk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Tarbiyah Bagi Akhwat Muslimah (Bagian 1)

Pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa menyaksikan kebiadaban yang sangat tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia, dengan sebuah kesimpulan bahwa "kaum perempuan tidak mempunyai jiwa". Di Yunani, Lembaga fiksafat dan ilmu pengetahuantelah memandang perempuan sebagai tirani dan tidak memberinya kedudukan berarti di masyarakat. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Salah seorang tokoh zaman itu, Aristoteles mengatakan "Alam tidaklah membekali perempuan dengan persiapan ilmu pengetahuan (intelektual) yang patut dibanggakan. Karena itu pendidikan perempuan harus dibatasi dan diarahkan pada masalah yang berkaitan dengan rumah tangga, keibuan, kepengasuhan, dan lain-lain." Sampai beberapa abad kemudian, perempuan tetap menjadi objek penderita dan dianggap sebagai makhluk yang

Al Fahmu

Keyakinan dalam benak bahwa fikrah (pandangan) kami adalah fikrah islamiyah yang solid dan tangguh, serta enkau pahami Islam seperti yang kami faham dalam kerangka dua puluh landasan (al ushuul al ‘isyruun). (Hasan al banna) Tak ada perintah tambahan seperti perintah meminta tambahan ilmu. Bahkan perintah itu diarahkan kepada Rasul pilihan SAW.  “Dan katakanlah: Ya Rabbi, tambahkan daku ilmu”  (QS. 20:114). Bagi ashabul kahfi, sesudah iman, tambahan nikmat berupa Huda (petunjuk) itu juga ilmu. Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan anak kandung ilmu, seluruh dampak ilmu adalah kebajikan. Bukanpun ketika seseorang terlajur salah jalan, ilmu mengambil peran pelurus. Ia selalu jujur, asal si empunya mau jujur.  “Lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan motivasi yang salah, tetapi sang ilmu tak pernah mau dituntut kecuali karena Allah,”  kata Al Ghazali. Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan imu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seper