Langsung ke konten utama

Urgensi Tarbiyah Bagi Akhwat Muslimah (Bagian 1)



Pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa menyaksikan kebiadaban yang sangat tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia, dengan sebuah kesimpulan bahwa "kaum perempuan tidak mempunyai jiwa".

Di Yunani, Lembaga fiksafat dan ilmu pengetahuantelah memandang perempuan sebagai tirani dan tidak memberinya kedudukan berarti di masyarakat. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Salah seorang tokoh zaman itu, Aristoteles mengatakan "Alam tidaklah membekali perempuan dengan persiapan ilmu pengetahuan (intelektual) yang patut dibanggakan. Karena itu pendidikan perempuan harus dibatasi dan diarahkan pada masalah yang berkaitan dengan rumah tangga, keibuan, kepengasuhan, dan lain-lain."

Sampai beberapa abad kemudian, perempuan tetap menjadi objek penderita dan dianggap sebagai makhluk yang sering membawa bencana, seperti uangkapan Socrates, "Perempuan adalah sumber besar dari kekacauan dan perpecahan di dunia." Bangsa Yunani dan Romawi berkeyakinan bahwa perempuan itu pikirannya lemah dan pendapatnya emosional. Karena itu mereka meremehkan dan tidak menerima pendapat perempuan.

Islamlah yang kemudian datang untuk mengubah berbagai persepsi dan perlakuan yang sangat tidak adil terhadap kaum perempuan. Islam datang untuk melakukan pemberdayaan terhadap potensi kebaikan manusia, laki-laki maupun perempuan, agar menjadi hamba yang menaati Tuhannya. Kejahiliyahan telah dihapuskan dengan cahaya Islam, lewat sentukan Tarbiyah Islamiyah yang dilaksanakan oleh Nabi kepada umatnya. Di sisi Nabi, kaum perempuan amat dimuliakan.

mereka mendapatkan tarbiyah dari Rasulullah, dengan diarahkan kepada posisi dan peran yang adil antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada diskriminasi status kemanusiaan dan potensi keduanya. Tarbiyah telah mencerahkan kaum perempuan, sehingga mereka mendapatkan kesetaraan dalam harkat kemanusiaan dan potensi kebaikan.

Imam Baidhawi dalam kitab Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta'wil (Cahaya-cahaya Wahyu dan Misteri Interpretasi), menyebutkan bahwa pada dasarnynya kata "rab" itu bermakna "tarbiyah", yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Demikian pula Raghib Al-asfahani dalam kitab Al-Mufradat berpendapat bahwa "rab" berarti "tarbiyah" yang bermakna menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya.

Ungkapan definisi dua ulama diatas menggambarkan bahwa tarbiyah adalah aktivitas yang berorientasi kepada perubahan, yaitu menuju perbaikan yang disertai dengan penahapan dalam langkah. Secara lebih kongkret, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud mengemukakan, "Tarbiyah adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lenih baik."

Kegiatan tarbiyan merupakan sebuah proses yang menghartakan pelakunya menuju kepada sebuah "kesempurnaan" dalam batas kemanusiaan, yaitu usaha-usaha perbaikan diri dan umat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Para akhwat muslimah adalah bagian dari masyarakat, sebagaimana juga laki-laki yang harus dipersiapkan segala peran kebaikannya dalam sebuah proses tarbiyah.

Ada beberapa urgensi mengapa kegiatan tarbiyah begi akhwat muslimah di era sekarang ini diperlukan: klik ini

Sumber: Keakhwatan 1, Cahyadi Takariawan, dkk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1. Penanaman dan Penjagaan Iman Menghajatkan Kerja yang serius

Dalam kehidupan keseharian kita saat ini, terlalu banyak faktor yang bisa menggerogoti keimanan. Berbagai tawaran kegiatan yang berorientasi kepada pemenuhan nafsu syahwat telah dengan terang-terangan dipromosikan lewat media massa, baik secara cetak maupun elektronik. Orientasi hidup serba materi yang ditonjolkan lewat media iklan, pada akhirnya telah menggiring manusia kepada sifat keinginan pemenuhan kebutuhan secara instan, tanpa mempertimbangkan moralitas. Derasnya arus informasi yang mengalir bak air bah, setiap hari, setiap jam, setiap menit detik, mampu menyeret masyarakat mengikuti pola hidup tertentu pola hidup tertentu yang jauh dari nilai keimanan. Hedonisme dan konsumerisme sebagai anak kandung peradaban materi telah menjadi bagian dari gaya kehidupan, yang pada gilirannya melahirkan sejumlah patologi sosial. Keimanan akhirnya dipertaruhkan di ujung tanduk, setiap saat menemukan tawaran-tawaran sikap dan perilaku. Penanaman nilai-nilai keimanan yang dilakukan

Al Fahmu

Keyakinan dalam benak bahwa fikrah (pandangan) kami adalah fikrah islamiyah yang solid dan tangguh, serta enkau pahami Islam seperti yang kami faham dalam kerangka dua puluh landasan (al ushuul al ‘isyruun). (Hasan al banna) Tak ada perintah tambahan seperti perintah meminta tambahan ilmu. Bahkan perintah itu diarahkan kepada Rasul pilihan SAW.  “Dan katakanlah: Ya Rabbi, tambahkan daku ilmu”  (QS. 20:114). Bagi ashabul kahfi, sesudah iman, tambahan nikmat berupa Huda (petunjuk) itu juga ilmu. Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan anak kandung ilmu, seluruh dampak ilmu adalah kebajikan. Bukanpun ketika seseorang terlajur salah jalan, ilmu mengambil peran pelurus. Ia selalu jujur, asal si empunya mau jujur.  “Lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan motivasi yang salah, tetapi sang ilmu tak pernah mau dituntut kecuali karena Allah,”  kata Al Ghazali. Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan imu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seper